Memuat

KONSEP BLU DAN TANTANGAN MENUJU MUSEUM MODERN ERA 4.0

Gunung Puntang, 13 Maret 2021.

Berawal dari misi Pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan pelayanan publik, pentingnya pengaturan payung hukum terkait unit kerja yang melakukan pelayanan yang lebih efektif kepada masyarakat amat diperlukan. Merespons kebutuhan yang mendesak itu, disahkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, khususnya Pasal 1 angka 23 tentang Perbendaharaan Negara yang disahkan pada 14 Januari 2004 terkait Badan Layanan Umum, selanjutnya disebut BLU. Konsep BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Dalam melakukan kegiatannya, didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Kemudian, hal tersebut diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Salah satu institusi pemerintah yang akan bertransformasi secara bertahap menjadi BLU adalah museum yang dikelola Pemerintah. Untuk menjadi BLU yang memiliki kontribusi kepada keuangan negara serta menyediakan pelayanan yang bermutu, institusi museum pemerintah dihadapkan pada beberapa tantangan, misalnya lembaga museum didorong meningkatkan kemampuan manajerial agar mampu membawa BLU menjadi organisasi sektor publik dengan kinerja sektor swasta. Walaupun konsep museum sebagai BLU seakan-akan menerapkan praktik-pratik bisnis secara bebas, bukan berarti tujuannya profit oriented semata. Akan tetapi, harus tetap dengan prinsip utamanya, yakni menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat (best practice) sehingga tercipta pelayanan yang lebih maksimal kepada masyarakat.[1]

Berdasarkan kongres ICOM ke 21 tahun 2007 di Vienna, Austria, museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, terbuka untuk umum, serta melayani masyarakat beserta perkembangannya dengan mengumpulkan, merawat, meneliti, mengomunikasikan, serta memamerkan peninggalan manusia dan lingkungannya, baik yang berwujud (tangible) dan tak berwujud (intangible) guna pembelajaran, pendidikan, dan hiburan. Sementara itu, menurut PP No. 66 Tahun 2015, museum berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Dalam mengimplementasikan nilai dan fungsi tersebut, tentu tidaklah mudah, terlebih di era digital saat ini yang berdampak dalam berbagai tantangan. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan museum saat ini dapat dilihat dari beberapa aspek di antaranya karakter pengunjung museum.

Perkembangan informasi teknologi di era digital saat ini terus berkembang pesat dan telah memengaruhi hampir seluruh sektor kehidupan termasuk membentuk perilaku, gaya hidup, dan cara pandang masyarakat terutama generasi milenial. Dapat dikatakan, generasi milenial tidak dapat hidup tanpa teknologi. Sebuah survei yang dilakukan IDN Research Institute yang bekerja sama dengan Alvara Research Center di 12 kota besar di Indonesia berjudul Indonesia Millenial Report 2019 menunjukkan generasi milenial Indonesia telah terkoneksi dengan internet sebanyak 94,4%, bahkan sebagian besar di antaranya telah mengalami kecanduan/ketergantungan terhadap internet.[2] Perkembangan teknologi dan penetrasi internet mengubah kebiasaan sehari-hari termasuk mengubah perilaku wisatawan dalam mencari, menjelajah, memesan, dan berwisata. Dengan kata lain, tampilan teknologi interaktif telah menjadi bagian kebutuhan masyarakat modern yang sangat tergantung pada teknologi.[3]

Kaitan hal tersebut dengan kunjungan ke museum tentunya terkait pengelola museum harus memperhatikan aspek kebutuhan pengunjung generasi milenial yang merupakan pasar potensial untuk memadati museum-museum. Menurut Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2017, para milenial atau angkatan yang lahir antara tahun 1981-2000 berjumlah 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia, seperti dikutip dalam buku Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik 2018. Jumlah ini diperkirakan akan terus naik. Jika dibandingkan dengan jumlah generasi lain saat ini, persentase milenial di Indonesia merupakan jumlah terbesar (33,75%), diikuti dengan jumlah generasi Z (29,23%), generasi X (25,74%), dan yang paling sedikit adalah generasi baby boomers dan veteran (11,27%). Dari penjabaran data-data di atas, jika institusi museum tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, perkembangan museum akan lambat dan tidak menarik. Sebagai konsekuensinya, pengelola museum harus senantiasa memenuhi keinginan pasar milenial sebagai generasi yang ingin selalu terkoneksi dengan informasi dari seluruh dunia.

Dari tantangan yang dijabarkan, tentu ada harapan museum dapat eksis di segala zaman. Hal tersebut membutuhkan kesadaran ketika menyajikan koleksi museum yang harus mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi. Dengan adanya keterbukaan informasi dan pemanfaatan teknologi saat ini, pengelola museum semakin terbuka dalam memahami pasar potensial dan tidak hanya berpikir kesuksesan museum di lihat hanya pada jumlah kunjungan, tetapi juga memikirkan bagaimana museum dapat memberikan manfaat bagi kehidupan. Jadi, pengelola harus mampu mengemas daya tarik museum lebih menarik dan menghapus stigma lemah tentang museum yang usang, kuno, dan menyeramkan.


[1] Pasal 2, PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

[2] Dalam Deloitte Indonesia Perspectives (Edisi Pertama, September 2019:26)

[3] Dicky Kartikoyono Direktur Sumber Daya Manusia Bank Indonesia (Dalam Deloitte Indonesia Perspectives | Edisi Pertama, September 2019: 25)




;
asdsadsadsa